i Love You, Sir
"Aku gak mau kita putus!" seru pengemudi di bangku
kanan.
"Aku gak mau diatur-atur!" timpa sosok disampingnya
tak mau kalah.
"Tapi aku gak suka kalo kamu deket-deket sama
cowok lain!" ujarnya
dengan nada lebih tinggi.
"Aku kan udah bilang, mereka temen
aku, Reno." Nudia mengatur
nafasnya yang tak terkendali akibat kekesalannya yang memuncak. "Aku gak bisa tetep sama
kamu. Udah cukup! Hubungan
kita gak bisa lagi dipertahanin." Nudia langsung membanting pintu jazz
kuning yang terparkir di area EEB, English Education Bridge,
tempat Nudia kursus Bahasa Inggris. meninggalkan
Reno yang masih tak menerima keputusan Nudia mengakhiri hubungan mereka secara
sepihak. Nudia mempercepat langkahnya menaiki tangga menuju lantai 3 ruang 311,
jam tangannya menunjukkan pukul 19.10, yang berarti Ia telah lewat 10 menit
dari jadwal yang seharusnya. Ini hari pertamanya memasuki kelas Conversation
level akhir pada kursus Bahasa Inggris yang diambilnya sejak awal masuk kuliah.
Langkahnya melemah saat melewati tiap bilik kelas yang tampaknya telah memulai
pembelajaran. Ia melongok melalui kaca kecil pada ruangan yang tertulis angka
311 pada pintunya, memastikan ini adalah benar kelasnya. Nudia menarik pelan
gagang pintu, dengan sedikit keraguan memasuki ruangan sembari melempar senyum
ke seluruh ruangan. Nafasnya tertahan saat mendapati sosok yang tak asing lagi
baginya berada di kursi pengajar. Akhirnya eberapa detik kemudian Ia berhasil
mengendalikan diri.
"Maaf saya terlambat." ujar Nudia dalam Bahasa Inggris dan langsung duduk di bangku yang masih kosong tanpa menunggu respon dari lawan bicaranya. Memang di EEB ini semua siswanya wajib berbahasa Inggris saat berada di lingkungan kursus, baik dengan pengajar, staff, maupun sesama murid.
"Maaf saya terlambat." ujar Nudia dalam Bahasa Inggris dan langsung duduk di bangku yang masih kosong tanpa menunggu respon dari lawan bicaranya. Memang di EEB ini semua siswanya wajib berbahasa Inggris saat berada di lingkungan kursus, baik dengan pengajar, staff, maupun sesama murid.
"It's okey." jawab sosok
itu singkat, yang kemudian melanjutkan perbincangannya.
"Okey guys, Let's we start the
class and I want you introduce your self, your name, address, hobbies, school and anything about you. I
think you can be the first." Ia mengarahkan pandangannya kepada
Nudia.
Nudia masih bengong dan tak percaya
bahwa Ia menjadi orang pertama yang akan memperkenalkan diri. "Me?" tanyanya meyakinkan.
"Yes, absolutely!" jawabnya yakin.
"Sial kenapa harus gue yang
pertama, padahal masih ada yang lain juga." omel Nudia dalam hati.
"Hey girl, please introduce
yourself." pintanya
lagi, tak sabar.
Nudia menatap sebal sosok di
hadapnnya. "My name is Nudia Rafika. I live at Gajah Mada Street and I'm
undergraduate students." Nudia memperkenalkan dirinya dengan singkat,
cukup keterangan umum saja yang Ia ungkapkan. Kemudian secara bergilir setiap
orang di ruangan itu memperkenalkan diri, ada beberapa yang telah bekerja
tetapi mayoritas masih menjadi mahasiswa
di perguruan tinggi. Tak
ketinggalan sosok yang duduk sendiri di meja pengajar, tinggi, berkacamata, dan
menjadi pusat perhatian.
"My name is Muhammad Deni. You
can call me Mr. Deni and I'll be your teacher for this term until the promotion
test. I hope we have good relation as teacher and students."
jelasnya.
Nudia kembali memandang sebal guru
Bahasa Inggris dihadapannya. Ia sangat berharap akan mendapat pengajar yang
baik hati di level akhir ini, bukan berarti Mr. Deni tidak baik hati. Hanya
saja berdasarkan pengalamannya di level awal, Mr. Deni adalah orang yang sangat
taat aturan dan disiplin. Beberapa kali Nudia mendapat sanksi karena telat,
atau keceplosan berbahasa Indonesia saat berada di kelas.
Malam ini Nudia terpaksa menunggu
jemputan abangnya yang baru beberapa menit yang lalu berangkat dari rumah.
Alhasil Ia harus menunggu sekitar 15 menit lagi karena jarak rumahnya dan
tempat kursus tak cukup jauh.
"Belum pulang?"
Nudia terhenyak dengan suara dari
arah belakangnya. Ternyata Luqvi lah sumber dari suara itu.
"Iya belum, lagi nunggu
dijemput." jawab
nudia dengan melempar senyum.
"Bareng gue aja." ajak Luqvi.
"Gak usah. Abang gue udah
jemput kok, lagi di jalan."
"Ooh gitu. Yaudah gue tungguin
sampe abang lo jemput."
"Hah?" lagi-lagi Nudia
terhenyak walau bukan baru kali ini Luqvi menawarinya mengantarkan pulang.
Perkenalannya dengan Luqvi sejak level awal Ia kursus di EEB, sejak saat itu pula
Ia tau Luqvi menyukainya. Mulai dari sekedar tawaran pulang bahkan beberapa
kado pernah diberikan. Nudia telah menunjukkan penolakan secara halus dengan
sengaja mengenalkan Reno yang kini menjadi
mantannya. Namun tak ada yang berubah dengan sikap
Luqvi, Nudia akhirnya pasrah namun tetap berusaha menolak termasuk seperti yang
terjadi malam ini.
"Eh abang gue udah jemput.
Duluan ya." ujar
Nudia saat melihat sedan merah abangnya dari kejauhan.
"Okey. Bye..."
Nudia hanya membalas dengan senyum. "Syukurlah Bang Niko datang tepat waktu." batinnya.
Nudia hanya membalas dengan senyum. "Syukurlah Bang Niko datang tepat waktu." batinnya.
***
Hari ini begitu melelahkan untuk Nudia, setelah jadwal kuliah yang padat ditambah kursus Bahasa Inggris malamnya. Tanpa pulang ke rumah Ia langsung menuju tempat kursus dengan kendaraan umum. Nafasnya masih terengah saat sampai di lobby bawah, akhirnya Ia memilih langsung naik ke atas agar bisa beristirahat di kelas, meninggalkan Friska dan Lala. Tak hanya fisiknya yang kelelahan, namun juga perasaannya. Banyak yang berkecamuk dalam hatinya, mulai dari Reno yang bersikeras meminta balikan, nilai ujian yang masih belum keluar semua, dan yang paling parah adalah ada satu nilai mata kuliahnya yang E, yaitu Akutansi Lanjutan. Ia merasa sial sekali, padahal Ia merasa cukup bisa untuk mata kuliah itu. Nilai buruk itu terjadi akibat Ia memberi sontekan jawaban kepada temannya saat ujian akhir.
Bel tanda masuk telah berbunyi, Nudia menghela nafas panjang mengingat betapa melelahkannya hari ini. Sesosok dengan seragam biru dan kacamata yang membingkai kornea coklatnya memasuki kelas tak berselang lama setelah bunyi bel
"Hello, Good evening class.
How are you?" tanyanya
kepada seisi kelas. "Hmm... You look not good, maybe you're tired, have a
bad day, or have problems?" tanyanya lagi. Malam itu kelas didominasi
wajah-wajah tak bersahabat, mungkin mereka juga sedang melewati hari yang
berat. Hanya beberapa yang menjawab 'fine', yang lain menjawab 'not good', 'bad',
'just so so" dan sisanya memilih diam. Ia kembali melanjutkan.
"Please open lesson 5 on page 40. The theme is respons and give support
for others."
Seisi kelas mengikutinya membuka
halaman yang dimaksud.
"I want you make a real story
that make your friends give sympathy, support, and something like that. I give
you 5 minutes"
Nilai Akuntansi Lanjutan yang
menyedihkan langsung muncul di pikiran Nudia. Kini Ia merancang kata-kata dan
alur cerita kejadian nilai itu hinggan berakhir di huruf E. Friska, Lala, Luqvi,
dan yang lainnya juga sedang merancang apa yang akan diceritakannya kepada
seisi kelas.
"Oke... The time is over.
Friska, you're the first."
"Ooh okey." Friska
memulai cerita, "Well, Last year on November my grandmother passed away,
It's make me so sad until now. And than last month my ex boyfriend dump
me."
Kontan kelas menjadi gaduh dengan
bermacam komentar, Deni pun ikut tercengang dengan cerita Friska, terutama
cerita terakhirnya. "I'm sorry to hear that but I want to know why your
boyfriend dump you?" tanyanya
prihatin. "I mean your ex." Ia memperjelas kalimatnya yang malah
mengundang tawa.
"Hmm... Because He has another
guys, Sir." jawab Friska.
"Ooh... Poor you!" Lala
ikut bersimpati diikuti yang lainnya. Setelah semuanya memberikan respon simpati, Lala,
Jihan, Ferdi, Luqvi dan lainnya menceritakan kejadian menyedihkan yang mereka
alami. Hingga tinggal satu orang yang lagi yang belum mengungkapkan kisahnya,
yaitu Nudia.
"I’ve get bad score for my
accounting lesson. Because I give my answer test to my friend, and my lecture
think that I cheat him. So, She give me and him E's score for that
lesson." Ungkap Nudia
sedih.
"Have you explain the real
story?" tanya Deni.
"Yes! But she won't to
know."
"Ooh I'm sorry to hear
that." Jihan bersimpati.
"Ooh my!" Friska hanya
menanggapi seadanya, dan dilanjutkan
dengan dukungan dan saran dari yang lain agar Nudia tidak lagi memberikan
jawaban ujian kepada temannya.
Bel tanda pulang berbunyi ketika Deni hendak berkomentar. "Oke class, Thankyou for today and see you next meeting." pungkasnya.
Bel tanda pulang berbunyi ketika Deni hendak berkomentar. "Oke class, Thankyou for today and see you next meeting." pungkasnya.
Semua sibuk membereskan buku dan
bergegas keluar kelas, tapi tidak dengan Nudia, Ia membiarkan teman-temannya
keluar terlebih dahulu, sementara Ia membereskan buku dan mengecek
handphonenya. Setelah kelas kosong barulah Nudia meninggalkan kelas menuju
tangga turun dengan mata yang tetap fokus pada benda bercasing pink cerah di
genggamnnya.
"Could I know your lecture?" Suara yang tiba-tiba terdengar membuat Nudia mencari sumbernya. Didapati pengajar Bahasa Inggrisnya kini berada dihadapannya, dengan tangan mendekap beberapa buku. Nudia memperhatikan sekitar untuk meyakinkan bahwa pertanyaan itu memang untuknya. "You ask me?" tanyanya ragu.
"Could I know your lecture?" Suara yang tiba-tiba terdengar membuat Nudia mencari sumbernya. Didapati pengajar Bahasa Inggrisnya kini berada dihadapannya, dengan tangan mendekap beberapa buku. Nudia memperhatikan sekitar untuk meyakinkan bahwa pertanyaan itu memang untuknya. "You ask me?" tanyanya ragu.
"Yes, absolutely!"
"It's my problem. I just tell
to the class because of the lesson." ujar
Nudia sinis.
"Okey but I guess your lecture is Miss oxcel." ujar Deni ringan sembari menuruni tangga.
"How can you know?" tanya Nudia heran yang langsung mengikuti langkah cepat didepannya..
"Because she is my sister and she teach accounting in your university." jawab Deni sambil berlalu.
"Can you help me?" pinta Nudia tiba-tiba.
"Okey but I guess your lecture is Miss oxcel." ujar Deni ringan sembari menuruni tangga.
"How can you know?" tanya Nudia heran yang langsung mengikuti langkah cepat didepannya..
"Because she is my sister and she teach accounting in your university." jawab Deni sambil berlalu.
"Can you help me?" pinta Nudia tiba-tiba.
Deni menghentikan langkahnya, Ia
sudah menyangka muridnya ini akan meminta pertolongan.
"Pertolongan apa?" tanyanya polos dalam Bahasa Indonesia karena kini mereka sudah berada di parkiran.
"Bantu saya ketemu sama Bu Oxcel, Sir biar nilai saya berubah. Saya gak mau ngulang semester depan." Nudia kembali memohon.
"Pertolongan apa?" tanyanya polos dalam Bahasa Indonesia karena kini mereka sudah berada di parkiran.
"Bantu saya ketemu sama Bu Oxcel, Sir biar nilai saya berubah. Saya gak mau ngulang semester depan." Nudia kembali memohon.
Namun tak ada jawaban dari sosok di
hadapannya.
"Saya tau hubungan kita gak
terlalu baik. Tapi kalo Mister gak bantu saya, semua akan jadi tambah gak
baik." ujar Nudia. "Maksudnya nilai saya jadi buruk." lanjutnya setelah
menyadari kata-katanya tadi ambigu.
"Okey saya akan coba bilang ke
kakak saya, nanti saya kabarin." jawab
Deni akhirnya.
"Thank you, Sir." Nudia akhirnya bisa sedikit bernafas lega.
"Thank you, Sir." Nudia akhirnya bisa sedikit bernafas lega.
Deni melangkah menuju mobilnya. Ia
tak habis pikir kenapa langsung berniat membantunya padahal sikap Nudia selama
ini cendrung tak bersahabat.
"Sir!!"
Deni menghentikan langkahnya. "Ya?"
"Boleh minta nomor handphone?" pintanya pelan.
"Maksudnya biar saya bisa ngehubungi Mr. Deni tentang kelanjutan nilai
saya."
Pernyataan Nudia membuat Deni seakan menjadi penentu
nasib nilai Nudia.
Deni memberikan sebuah kartu nama yang diambil dari
dompetnya.
"Sekali lagi makasih banyak ya, Sir."
"Iya." jawab
Deni singkat dan langsung melajukan mobilnya.
Jalanan mulai lengang, lampu-lampu
jalan menghiasi malam, udara dingin makin membelenggu. "Makin lama anak itu
semakin mirip sama Rasti." ujarnya
pelan. Ia hampir pingsan saat melihat Nudia pertama kali. Kala itu Ia masuk ke
ruangan level awal kelas Conversation. Nudia dengan polosnya melempar senyum
kepadanya. Senyuman itu mengingatkannya kepada wanita yang hampir Ia nikahi
kalau saja kecelakaan maut itu tak terjadi. Sejak saat itu sebenarnya Deni
sering memerhatikan Nudia saat di kelas.
***
Nudia mendapatkan pesan singkat
dari Mr, Deni yang mengajaknya bertemu siang ini di The Jan's Coffee Shop. Ia
telah merancang kalimat-kalimat perbelaan yang akan diajukannya nanti. Nudia memasuki Coffee
Shop yang tak begitu ramai, mengambil tempat di sudut agar dapat melihat
pengunjung yang baru datang. Beberapa menit kemudian, dua orang yang Ia kenali berjalan menuju
mejanya. Ia melempar senyum dan menyapa Bu Oxcel dan Deni. Penampilan mereka
berdua jauh berbeda ketika mengajar, kali ini
lebih santai. Bu Oxcel mengenakan rok bercutting lebar dan kaos pas
badan, sedangkan Deni dengan kemeja abu-abu yang digulung sesiku membungkus
tubuhnya yang proporsional. Percakapan
mereka dimulai dengan obrolan ringan untuk mencairkan suasana, sampai pada saat
Deni memberikan kode untuk Nudia membicarakan maksud dan tujuan utama pertemuan
ini.
"Bu, saya mau menjelaskan masalah ujian kemarin." ujar Nudia berhati-hati dengan kalimatnya.
"Iya kenapa?" jawab Bu Oxcel yang kini mulai serius juga. Ia sebenarnya sudah tau maksud dari pertemuan ini, hanya saja Ia ingin mendengar sendiri pembelaan dari Nudia.
"Saya meminta pertimbangan untuk bisa merubah nilai saya.." pinta Nudia setengah memohon.
Kemudian Bu oxcel meminta penjelasan lebih lanjut dan akhirnya sepakat memberikan pertimbangan dengan ujian ulang agar nilainya bisa berubah Nudia sangat berterimakasih kepada Bu Oxcel dan tentu saja kepada Mr. Deni yang membantu pertemuan ini.
"Bu, saya mau menjelaskan masalah ujian kemarin." ujar Nudia berhati-hati dengan kalimatnya.
"Iya kenapa?" jawab Bu Oxcel yang kini mulai serius juga. Ia sebenarnya sudah tau maksud dari pertemuan ini, hanya saja Ia ingin mendengar sendiri pembelaan dari Nudia.
"Saya meminta pertimbangan untuk bisa merubah nilai saya.." pinta Nudia setengah memohon.
Kemudian Bu oxcel meminta penjelasan lebih lanjut dan akhirnya sepakat memberikan pertimbangan dengan ujian ulang agar nilainya bisa berubah Nudia sangat berterimakasih kepada Bu Oxcel dan tentu saja kepada Mr. Deni yang membantu pertemuan ini.
"Kita balik duluan ya." pamit Bu Ocxel.
"Iya, Bu. Makasih banyak
sebelumnya." ujar
Nudia.
"Kamu pulang sama siapa?"
tanya Deni tiba-tiba.
"Hmm... Gampang Sir."
"Bareng aja sekalian sama
saya."
"Gak usah nanti saya minta
jemput aja, Sir."
"Ooh okey kalau begitu, kami
duluan."
Nudia tak beranjak dari kursinya
walaupun kedua orang yang tadi berada di mejanya telah pergi. Ia masih
memandangi kursi kosong dihadapannya seolah masih terisi oleh pengajar Bahasa
Inggrisnya. Segera ditepis bayangan itu dan berlalu keluar Coffee Shop.
***
Sore itu tak ada jadwal kursus,
tapi Nudia harus datang ke tempat kursus untuk bimbingan membuat Essay yang
menjadi tugas akhir kelas Conversation. Sialnya saat Nudia sampai telah banyak
yang mengantri untuk bimbingan. Alhasil Ia menjadi yang terakhir, Setalah
menunggu hampir 2 jam. Baru saja Ia akan membuka pintu, sesorang dari dalam
lebih dulu menarik gagang pintu. Nudia menghentikan langkahnya.
"Sorry Nudia, I feel so tired.
Can we re-schedule our appointment?
Nudia melihat wajah Deni yang
memang sangat lelah. Walaupun Ia sedikit merasa kesal karena telah menunggu
hampir 2 jam akhirnya Ia menyetujui untuk mengatur ulang jadwal bimbingannya.
"Okey, Sir." jawabnya
singkat. Malam ini Nudia pulang ke rumah dengan sia-sia tanpa hasil. Padahal
niatnya malam ini Ia akan menyelesaikan Outline sebelum pertemuan kursus
selanjutnya. Apadaya Ia harus kembali mengatur jadwal dengan pembimbingnya
***
Nudia bergegas keluar kelas setelah
menyelesaikan kuis Ekonomi Mikro untuk menghindari Reno. Mantannya yang satu
ini masih bersikeras mengajaknya balikan. Padahal Nudia telah dengan tegas
menolaknya. Ia ingin bebas berteman dengan siapa saja tanpa batasan dari Reno
yang selama ini mengaturnya. Nudia sedang menunggu angkutan umum di halte
kampus saat tiba-tiba ada mobil yang berhenti di depannya. Hanya selang
beberapa detik, keluarlah seseorang dari balik kemudi.
"Mr. Deni? Kok bisa ada di sini?"
tanya Nudia heran.
"Saya abis nganter Kak Oxcel. Kamu
udah pulang?"
"Iya, udah pulang, Sir."
"Kebetulan bareng aja sekali
kita bisa mampir dimana dulu gitu untuk ngebahas essay kamu. Gimana?"
"Boleh, Sir." jawab Nudia bersemangat.
Pipi Nudia bersemu merah saat Deni
membukakan pintu mobil untuknya. "Baru kali ini gue dibukain pintu mobil
sama cowok, dulu Reno aja gak pernah." batinnya.
"Kita mau ngebahas essay
dimana?" tanya
Deni dengan sekilas melirik bangku kirinya.
"Eh-- terserah Mister aja.
Mungkin di EEB?" Nudia hanya merespon seadanya. Ia masih belum bisa
menormalkan aliran darahnya yang mengalir lebih cepat.
"Kalo di EEB terlalu formal.
Di tempat kemarin aja gimana? usulnya.
"Ide bagus, Sir." Nudia
melengkungan senyumnya lebar, tak dapat menutupi kegirangannya.
Suasana The Jan's Coffe Shop masih
sama seperti beberapa hari lalu, tak begitu ramai. Kali ini mereka mengambil
tempat di lantai atas yang terbuka. Langit sore yang tak terlalu panas dan
hembusan lembut angin membuat suasana semakin cozy.
Nudia memerhatikan sosok
dihadapannya yang sedang menatap lekat lembaran essaynya yang berjudul
"Relaxing Stress by Jogging", gerakan matanya yang cepat menyapu
seisi kertas, alisnya sesekali mengerut saat mendapati grammer yang salah kemudian
memberi tanda untuk diperbaiki.
"Nud, ini yang paragraf
terakhir saya rasa banyak pemborosan kata yang intinya sama aja. Lebih baik
dihilangin aja." Deni mengalirhkan
fokusnya dari lembaran kertas yang kini penuh dengan coretan. "Nudia?"
"Eh--Iya Sir."
"Kamu kenapa ngeliatin
saya?" tanya
Deni heran saat mendapati Nudia menatapnya lekat.
"Gak ada apa-apa kok Sir.
Saya--- cuma kagum sama anda, masih muda, baik, soft skillnya bagus." puji Nudia.
Deni hanya membalas dengan seyum
pujian yang dilontarkan Nudia. "Okey kita balik fokus ke essay kamu. Ini
udah saya tandain yang grammer-nya
kurang tepat juga beberapa kalimat yang kurang sinkron. Saya mau minggu depan
semuanya udah beres." Deni sengaja mengalihkan perhatiannya agar
perasaannya tak terbawa arus kemudian terhanyut dengan keadaan. Ia tak mau lagi
terjebak dengan nostalgia 'Rasti'.
"Siap Sir!" jawab Nudia mantap.
Malam ini adalah jadwal kursus
Bahasa Inggris yang akhirnya membuat Nudia tak sempat pulang karena waktu telah
menunjukkan pukul 18.00. Mereka makan malam berdua sebelum menuju tempat
kursus.
"Kamu masuk duluan aja
ya." ujar
Deni. Ia tak ingin ada asumsi sepihak dari guru atau murid lainnya. .
Nudia menuruti permintaan sosok di
sampingnya. Ia langsung masuk ke kelas tanpa menunggu di Lobby seperti yang
biasanya dilakukan. Ternyata kelas masih sangat sepi, Nudia-lah orang pertama
yang datang. Ia iseng mengutak-atik handphonenya, hanya sekedar membuka social media untuk
membunuh kejenuhan.
"Nud, lo tadi bareng Mr,
Deni?" tanya
Friska heboh. Padahal Friska masih berada di ambang pintu.
"Eh--" Nudia bingung
harus menjawab jujur atau mengelak.
"Tadi gue sama Lala liat lo
turun dari mobil Mr. Deni." sambung
Friska lagi
"Iya. Tadi itu gue abis
bimbingan essay, makanya dateng barengan." Nudia menjawab jujur.
"Lo bimbingan dimana?" kali ini Lala yang mulai
heboh.
"Di coffee shop."
"Lo nyolong start ya duluan
ngedeketin Mr. Deni?"
Friska dan Lala makin heboh dan
membanjiri Nudia dengan berbagai macam pertanyaan.
"Gue gak lagi PDKT lho. Emang
kalian yang terkagum-kagum sama Mr. Deni."
"Tapi kan Mr, Deni itu
ganteng, pinter lagi." Friska memuji dengan wajah sumringah seakan sosok
itu ada di hadapannya. "Iya baik, ramah, gak sombong." lanjut Lala. "Rajin
menabung dan hafal Undang-Undang." sambung
Nudia asal.
Bel tanda masuk telah berbunyi
disusul dengan murid-murid lain yang memadati kelas. Alhasil pembicaraan mereka
terhenti karena objek pembicaraannya pun telah ada di situ.
***
Tiga bulan belakangan ini membawa
banyak perubahan untuk kehidupan Nudia, telah banyak hal-hal baru yang terjadi.
Segalanya berlalu begitu cepat dan tiba-tiba termasuk perasaannya kepada Mr.
Deni yang hadir tanpa diduga. Debaran jantungnya yang sering tak terkendali
saat gurunya itu memanggil namanya untuk membaca teks atau memberikan pendapat.
Malam ini Ia menghadiri Farewell Party, setelah melalui presentasi essay dengan
bimbingan yang melelahkan dan memakan waktu juga Promotion Test yang sangat
ketat. Di salah satu kafe dekat tempat les, pesta telah dimulai. Semua
menikmati makanan dan minuman yang telah dipesan dengan obrolan hangat
mengenang semua yang telah terjadi selama menjalani kursus. Tiba-tiba Deni
meminta perhatian mereka tertuju padanya. "Hay guys. I wanna
hear from you what's you opinian, critics, impression, and everything about me.
Just say what you want to say. I won't be angry or embarrase. So, who will be
the first?"
Semua saling bertatapan dan
akhirnya Ferdi mengorbankan diri untuk memulai dan menyampaikan apa yang Ia
ingin katakan, kemudian dilanjutkan satu persatu secara bergantian. Semuanya
mengucapkan terimakasih atas pelajaran dan nasihat yang telah diberikan. Di
mata murid-muridnya, Deni tak hanya seorang guru, Ia juga teman baik yang
sering memberikan motivasi. Kini tiba saatnya giliran Nudia memberikan
opininya. Ia memulai dengan ragu. "The first time I met you, you're my teacher in basic class. You're kind,
friendly, interactive until someday you make me change my perspective. I get
mad when you make me repeat a dialog with good pronunciation more than
once." Ia mengambil nafas panjang kemudian melanjutkan, "And than
some months ago we met again in this class. I shocked when I open the door and
found you as my teacher again. I think this term will bored but in the middle
of term, you saved my life. Hmm... I mean my campus life. Several meetings at
the coffee shop make me found your brightest-side, not just yourself in this
class. Like the others said, You're a good friend. But I gotta you more than just a
friend. I love you, Sir.” Kalimat terakhir tak Ia ucapkan dengan lantang, hanya
hatinya yang berucap. “That’s all my opinion. Let’s continue!” Nudia memaksa untuk
tersenyum.
Friska melanjutkan, mengutarakan
rasa terimakasihnya kepada Mr. Deni dengan tak lupa mengungkapkan kekagumannya
yang luar biasa. Acara dilanjutkan dengan berfoto-foto sebanyak mungkin untuk
mengabadikan moment yang tak akan terulang ini.
“Can we talk?” tanya Mr. Deni ketika pesta telah berakhir.
“Can we talk?” tanya Mr. Deni ketika pesta telah berakhir.
Nudia menganggukkan kepala
menyatakan persetujuannya.
Deni membawa Nudia ke bagian
belakang kafe untuk berbicara empat mata.
“Ada apa, Sir?” tanyanya heran.
“Ada apa, Sir?” tanyanya heran.
"Kamu mirip dengan seseorang
yang sangat saya cintai."
"Siapa?" kali ini Nudia makin
penasaran.
"Rasti." ujar Deni pelan. Sudah
lama Ia menghindari menyebut nama itu.
"Almarhumah Teh Rasti
maksudnya?"
"Iya, Rasti sepupu kamu."
"Ja--di-- Mister calon
suaminya Teh Rasti?" Bola mata Nudia hampir sama meloncat karena
kekagetannya.
"Iya. Setiap ngeliat kamu saya
ngerasa kayak Rasti hidup lagi.”
"Oh my God!!"
Berkali-kali kalimat itu terucap dalam benak Nudia. Ia kembali memikirkan
kalimat terakhirnya tadi ketika Farewell Party yang belum sempat terucap karena
terhalang status Mr. Deni sebagai gurunya. Saat ini masalahnya bertambah
runyam, Is ternyata mencintai mantan calon suami dari sepupunya.
"Saya gak bermaksud apa-apa.
Saya cuma mau kita tetep deket walaupun sekarang kamu udah gak kursus di sini
lagi."
"Pasti, Sir. Kita masih bisa
sering ngopi bareng lagi." Nudia berusaha tersenyum meski hatinya
menangis. Harapannya
mendapat balasan cinta dari Mr. Deni makin melayang tinggi. Hati gurunya itu
seperti telah membentuk bongkahan es yang sulit dicairkan. Ia juga tak mungkin
menghianati sepupunya sendiri. Kadang banyak perasaan yang harus dikorbankan
agar semuanya baik-baik saja karena cinta bukan hanya tentang memiliki.
"Saya pulang duluan ya,
Sir." ujar
Nudia sembari menyeka air mata yang mulai tak terbendung.
"Bareng sama saya aja."
"Gak usah Sir, saya bareng
Luvqi aja." Nudia langsung meninggalkan Mr. Deni, mencari Luqvi di
parkiran.
"Luqvi anterin gue
pulang." ujarnya
tanpa basi-basi. Ia membenamkan wajahnya pada pundak Luqvi yang kokoh
mengendalikan stang motornya. Lucu memang, biasanya luqvi-lah yang mati-matian
ingin mengantar Nudia pulang. Tapi kali ini Nudia yang minta diantarkan pulang.
Tak pernah ada yang salah dengan cinta, mungkin
saja kali ini cinta Nudia tidak
dengan orang yang tepat atau keadaannya yang belum tepat.
Comments
Post a Comment