My Bloody Birthday
“Aku mau ulang tahun loh.” ucapku saat kami keluar
dari bioskop.
“Iya aku tau. Kapan sih aku lupa hari ulangtahun kamu,
sayang?” genggaman tangannya menjadi semakin erat.
“Aku mau kado.”
“Kamu mau kado apa?”
“Aku mau kamu.” pintaku singkat, “ Aku mau kamu ada
waktu aku ulang tahun.”
“Kamu tau kan aku gk bisa. Kamu minta yang lain aja deh, yang
nyata yang aku bisa kasih.”
“Berarti kamu gak nyata, gitu?” aku melepaskan
genggaman tangannya, pura-pura ngambek.
“Sekarang aku nyata, Tapi waktu hari
ulang tahun kamu, aku nyata di Jogja, bayangan aku aja gak ada
disini.” candanya sembari merangkul pundakku.
Aku menatapnya nanar. Ingin sekali menahannya lebih
lama disini. Tapi tak bisa aku lakukan, seminggu lagi Ia akan kembali ke kota
perantauannya, meninggalkanku sendiri entah untuk beberapa bulan. Dan aku benci
sendiri.
“Kenapa gak kamu yang main ke Jogja?”
“Aku takut.”
“Takut kenapa?”
“Takut ketemu selingkuhan kamu disana.”
Ia kaget, tak menyangka aku berfikiran secetek itu.
Tapi itu benar-benar hal yang aku takutkan.
“Kok kamu bisa mikir begitu? Aku gk pernah selingkuhin
kamu. Kamu gak percaya sama aku?”
“Bukannya gak percaya....” ujarkku lirih.
“Ah sudahlah. Aku mau pesen tiket bus.” Ia mempercepat
langkahnya meninggalkanku yang masih membeku.
Loket bus itu terletak pada sebrang jalan. Ia menunggu
arus lalu lintas berkurang untuk menyebrang dan menyadari ada aku yang telah
menyamai langkahnya. Ia merarik tanganku untuk menyebrang jalan. Ini yang aku
suka, walaupun sedang marah Ia tetap melindungiku.
“Mas tiket ke Jogja tanggal 1, ada?” tanyanya kepada
penjaga loket.
“Ada mas. Berapa kursi?”
“Satu aja.” jawabnya yang kemudian memilih tempat
duduk dan melakukan pembayaran.
Aku beberapa langkah dibelakangnya sibuk untuk
menimbang-nimbang keputusanku.
“Aku anter kamu pulang.” ujarnya mengagetkanku.
“Okee.”
Kemudian Ia menuntunku menyebrang jalan dan
menggenggam tanganku menuju parkiran.
***
Loket Bis, Tanggal 1
“Kamu dimana? Bus-nya udah mau berangkat.” tanyanya di
ujung telfon saat aku sedang menerobos kemacetan lalu lintas dengan berjalan
kaki membawa koper dan tas jinjing.
“Aku di jalan. Lima menit lagi aku nyampe. Macet parah
sayang.” Jawabku terengah-engah.
“Oke. Aku tunggu.” Ia langsung memutuskan panggilan
telfon.
Aku mendapati loket bus yang sudah ramai oleh
penumpang dan barang-barang bawaan mereka. Aku mencari sosok yang sedari tadi
menungguku dan mendapatinya duduk di kursi tunggu. Aku setengah berlari
mendekatinya.
“Hai. Maaf baru dateng.” ujarku yang masih
menyeimbangkan nafas dengan keringat bercucuran.
Ia terpaku heran melihatku membawa koper.
“Kamu kok bawa koper?”
“Aku mau ikut kamu ke Jogja.” jawabku antusias.
“Hah?” Ekspresi wajahnya sangat kaget.
“Tenang aku udah pesen tiket dan duduk disebelah
kamu.”
Ia masih terlalu kaget untuk mengetahui aku ikut
bersamanya ketika petugas bus mengambil koperku untuk ditaruh di bagasi.
"Kok bisa?"
"Iya sewaktu kamu habis
beli tiket dan kita mau pulang, aku balik lagi ke loket bus dan pesen bangku
disebelah kamu." jawabku antusia dan menariknya menaiki bus yang sebentar
lagi akan melaju menuju Jogjakarta.
Aku sangat antusias dengan
perjalanan panjang pertamaku bersamanya
"Yuda..." bisikku
ditelinganya.
"Iyaa sayang."
jawabnya dengan senyuman tak seperti biasa. Aku menangkap raut wajah yang tidak
sebahagia layaknya yang aku harapkan.
"Kamu keliatannya gak
seneng aku ikut ke Jogja."
"Aku seneng kok."
Aku menatapnya lekat dan Ia
mengalihkan pandangan, mencoba mangabaikanku.
"Kamu kenapa sih?"
"Enggak. Aku cuma lagi
mikir kamu kamu nginep dimana. Kan gak mungkin di kostan aku"
"Ya ampun sayang. Kan aku
bisa nginep di hotel." ujarku ringan.
"Okee." jawabnya
tersenyum.
Bus melewati jalur pantai
utara dengan kecepatan tinggi, para penumpang bus mulai terlelap dengan balutan
selimut yang menghalangi dinginnya udara air conditioner. Aku menyandarkan
kepalaku dipundaknya menatapi jalanan gelap dibalik jendela, Ia membelai
rambutku lembut dan beberapa kali menciuminya.
Hal yang paling berkesan saat
bepergian adalah perjalanannya, menurutku. Apalagi perjalanan panjang ini,
untuk pertama kalinya mama mengizinkan anak semata wayangnya pergi jauh tanpa
keluarga. Sosok Yuda yang mempunyai kesan bertanggungjawab di mata kedua
orangtuaku membuat perjalanan ini terwujud, walaupun dengan banyak nasihat agar
aku bisa menjaga diri dan tidak melakukan hal-hal yang memalukan dengan Yuda.
"Mama
bisa percaya aku dan Yuda kan?" tanyaku disela-sela nasihatnya.
"Iya
mama percaya kalian kok" jawabnya yakin.
Aku sangat percaya Yuda sayang
dengan tulus kepadaku dan tidak akan membuat masa depanku hancur. Dua tahun
bersama membuatku mengenal sosoknya yang tak bisa ditebak oleh kesan pertama.
Sinar matahari melewati
jendela dan mengusik tidur nyenyakku. Aku mulai membuka mata perlahan, pupil
mataku milai menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Aku membayangkan Yuda
masih tertidur pulas, namun ternyata aku mendapatinya sibuk berkutat dengan
ponselnya yang terus berkedip. Ia kaget ketika aku mengangkat kepalaku dari
bahunya.
"Kamu udah bangun?"
tanyanya kemudian memperhatikanku sejenak.
"Iya sayang. Masih lama
ya?" tanyaku tak sabar.
"Enggak kok. Setengah jam
lagi nyampe." jawabnya singkat dengan jemari dan pandangan tak lepas dari
ponsel.
"Kamu bbman sama
siapa?"
"Sama temen yang mau
jemput kita."
"Ooh. Temen kuliah
Yud?"
"Iya. Nanti kamu kenal
sendiri."
Aku memandangi jalanan Jogja
yang tenang dengan lalu lintas tertib, tak sabar segera menyusurinya. Bus
memperlambat lajunya memasuki kawasan stasiun. Yuda menggandengku turun dan
mengambil koper di bagasi bus. Kami menunggu temannya yang sedang dalam
perjalanan. Tak lama muncul sosok wanita mungil berambut hitam sebahu.
"Maaf ya nunggunya
lama." ujarnya menghampiri aku
dan Yuda.
"Iya gak apa-apa."
jawab Yuda yang kemudian memperkenalkan aku dengan Cahya.
Kesan pertama yang baik,
setidaknya aku mulai mengenal orang lain selain Yuda disini. Cahya membantuku
membawa koper dan menyerahkan kunci mobilnya kepada Yuda, sepertinya hal ini
sudah biasa dilakukan karena Yuda tak canggung menerimanya.
Kami menuju hotel yang
berjarak beberapa meter dari malioboro. Yuda dan Cahya mengantarku hingga ke kamar
dan mereka berpamitan akan menjemputku sore hari untuk berkeliling Jogja.
Sepeninggalan mereka, aku
membuka lebar gorden kamar dan mendapati tugu Jogja yang menjulang kemudian
jalanan malioboro yang cukup ramai.
Aku membanting tubuhku di
tempat tidur ukuran sedang dengan balutan seprai putih dan coklat.
***
Aku men-shoot indahnya
malam Jogja. Langit yang sedang purnama menerangi makan malamku bersama Yuda
dan Cahya di pinggiran jalan malioboro.
"Cahya, fotoin gue sana
Yuda dong." ujarku sembari menyerahkan DSLR-ku.
Cahya membidikkan kamera ke
arah kami. Aku tak hanya menangkap kilatan lampu flash, aku juga menangkap
kilatan kecemburuan dari mata itu.
"Lagi dong." pintaku
dengan posisi lebih mendekat kepada Yuda.
Sekali lagi aku menangkap
kecemburuan dari sorot mata Cahya. Namun segera aku tepis pikiran negatif itu.
“Yuda, besok jadwal kita penuh nyampe sore.” ujar
Cahya berfokus pada Yuda,
“Iya. Aku belum ngerjain tugas ekonomi mikro lagi.”
sambung Yuda.
“Yowes sesok
ndelok punya aku wae.” ujar Cahya dalam bawasa jawanya yang sedikit medhok
namun terdengar menarik di telingaku.
“Apik temen tho
koe.”
“Lah biasane koyo ngono.”
Aku menyimak perbincangan mereka. Yuda mulai terbiasa
berbahasa jawa, padahal semasa SMA aku tak pernah mendengarnya berbahasa jawa
walaupun kedua orang tuanya asli bersuku jawa. Tak sengaja aku memperhatikan
Cahya, bertubuh tak lebih dari 160cm, dengan kulit kecoklatan khas wanita jawa,
rambut hitam sebahu yang berkilau dan mata hitamnya yang tajam saat menatap. Ku
akui dia manis.
“Kamu besok ulang tahun ya?” tanya Cahya yang
mengagetkanku.
“Iya. Kok kamu tau?” tanyaku antusias.
“Orang disebelahmu yang bilang. Dia sering cerita
tentang kamu lho.”
“Oh yaa? Yuda cerita apa?” aku semakin antusias
sembali melirik manja ke Yuda.
“Banyak banget. Nganti
aku lali. Hehehe.” Ia terkekeh.
Kemudian kami terlarut dalam percakapan seru, Cahya
selalu menjelaskan secara rinci saat aku terlihat tak mengerti perbincangan
mereka dan hal ini membuatku tak merasa diabaikan. Aku suka sekali pembawaan
wanita ini. Yuda mengajakku kembali ke hotel saat jam menunjukkan pukul 22.00.
Padahal aku ingin kebersamaan kami hingga pergantian malam.
“Kita beneran mau pulang?” tanyaku saat Ia menggandeng
menuju parkiran.
“Iya. Gak enak sama orang rumah Cahya kalo kemaleman
pulangnya. Besok juga kan masih bisa ketemu.”
“Iya deh.” ujarku lirih.
***
Aku terbangun oleh dering ponsel yang memekakkan.
“Hallo...”
“Selamat ulang tahun Indira, anak mama yang paling
cantik. Semoga selalu sehat dan kuliahnya cepat selesai.” ucap mama dari ujung
telfon.
Mendengar ucapan ulang tahun dari mama, kantukku
hilang dalam sekejap.
“Iya mama. Makasih banyak yaa.”
“Gimana Jogja?”
“Amat sangat menyenangkan, Ma. Makasih ya buat kado
ulang tahun terindahnya.”
“Iya sayang. Papa kamu juga titip ucapan selamat ulang
tahun. Papa udah berangkat ke kantor tadi pagi-pagi banget. Oh iya jangan lupa
beli oleh-oleh yang udah mama catetin.”
“Ya...ya...ya...” aku masih mengingat selembar penuh
folio berisi barang-banrang titipan mama yang masih tersimpan rapi di tas
jinjingku.
“Kamu mau kemana hari ini?”
“Belum tau ma. Yuda sama Cahya ada kuliah nyampe sore.
Jadi kmungkinan baru pergi nanti malem sekalian ngerayain ulang tahun aku.”
“Siapa itu Cahya?” tanya mama terdengar kaget.
“Cahya itu temennya Yuda ma.” jawabku enteng.
“Yudah kamu hati-hati disana. Salam buat Yuda ya.”
“Siap ma.”
Aku membaca pesan singkat dari Yuda yang
memberitahukan bahwa Ia baru bisa menemuiku nanti malam karena jadwal kuliahnya
hingga sore. Kemudian aku membalas pesan singkat lain dari teman-temanku yang
mengucapkan selamat ulang tahun dan bergegas mandi.
Jam tanganku menunjukkan pukul 1 siang. Perutku mulai
keroncongan dan kepalaku terasa pusing. Aku memberanikan diri untuk turun dan
mencari makan di sekitaran hotel sekalian membeli daftar pesanan mama. Setelah
makan di sebuah rumah makan prasmanan khas Jogja, Aku memiliki ide iseng untuk
tiba-tiba muncul di kampus Yuda. Bermodalkan nekat, Aku menyetop sebuah taksi
yang lewat dan meminta untuk diantarkan ke daerah Bulaksumur. Sekitar 15 menit
kemudian aku telah sampai disana. Kampus hijau dengan luas hektaran menyambutku
dengan hangat. Aku turun dari taksi dan berjalan ke arah Fakultas Ekonomi dan
Bisnis yang aku lihat dari penunjuk jalan yang terpampang saat baru memasuki
kampus. Aku menelusuri parkiran dan mulai bingung harus melangkah kemana di
tempat yang asing bagiku. Baru saja aku akan menghubungi Yuda saat aku melihat
sedan merah yang sepertinya milik Cahya.
“Iya. Itu mobil Cahya.” batinku.
Aku mendekat ke arah mobil, tampak siluet bayangan dua
orang di dalamnya. Aku lebih mendekat lagi berharap Cahya ada di dalamnya.
“Yuda!” jeritku refleks ketika melihat Yuda di bangku
kemudi dan Cahya di sampingnya dan mereka sedang berciuman!
Nafasku tertahan seperkian detik, pandanganku buyar
oleh air mata yang langsung mengalir tak terbendung. Dengan sekuat tenaga aku
berlari entah ke arah mana. Aku hanya ingin menjauh dari teriakan di belakang
yang memanggil namaku. Tak peduli dengan puluhan pasang mata yang mengiringi
langkahku. Aku berlari dan terus berlari hingga keluar kampus. Dengan muka merah
dan mata sembab aku tertunduk lemas di perempatan jalan. Ini hari ulang tahun
yang aku pikir akan sangat bahagia dengan kado liburan yang terlebih dulu
diberikan oleh mama dan papa. Ulang tahun yang aku pikir akan sangat bahagia
bersama Yuda. Namun semuanya telah hancur, ini ulang tahun terburukku. Aku
menghapus air mata, mencoba menyeimbangkan nafas yang terengah dan mencari
taksi untuk kembali ke hotel. Pulang ke Jakarta. Ya, itu adalah hal yang ada di
pikiranku saat ini.
Aku mendapati sedan merah itu (lagi) di depan hotel.
“Dir, aku bisa jelasin semuanya.” Yuda mencoba
mengejarku.
“Gak ada yang perlu dijelasin Yud. Aku udah liat
semuanya.” Aku menepis cengkraman tangannya.
“Apa yang kamu liat gak seperti yang terjadi
sebenarnya.” elaknya.
Aku memasukkan dengan asal semua barang-barangku ke
koper, Tak menghiraukan penjelasan Yuda yang hanya terdengar seperti bunyi
sayap sekumpulan lebah. Aku menarik koper dengan kasar, Sekilas tampak bayangan
Cahya yang mematung di ambang pintu. Yuda terus mengejarku hingga lobby hotel.
“Maafin aku, Dir.”
Aku menyeka air mata, “Kita putus!” hanya dua kata itu
yang terlontar dari bibirku yang bergetar.
Yuda mematung disana.
“Mau kemana mbak?”
“Bandara, Pak.”
Hal yang aku takutkan selama ini terbukti, Pikiran absurd-ku bahwa Yuda memiliki
selingkuhan disini benar adanya. Tatapan Cahya kemarin malam memang menunjukkan
kecemburuan. Aku butuh kembali ke Jakarta secepat mungkin. Aku ingin lari dari
kenyataan ini, hari ulang tahun yang bahkan belum sempat diucapkan oleh Yuda.
Tujuanku kesini adalah untuk membuat ulang tahunku yang ke 20 ini berkesan. Ya,
memang benar-benar berkesan, berkesan pahit.
"Happy Birthday to me." ucapku untuk diriku saat di ruang tunggu bandara.
Comments
Post a Comment