Weeding Organize
Ivena mendapati ban mobilnya kempes ketika Ia membuka gerbang hendak berangkat.
"Siaaaaal!" jeritnya.
Hari ini Ia mempunyai janji untuk bertemu kliennya satu jam lagi. Ia melangkahkan kakinya terburu-buru menyusuri jalanan komplek yang masih sepi. Didapatinya telah banyak orang menunggu bus dan taksi sesampainya di halte depan perumahan. Ia sangat berharap ada taksi kosong yang segera lewat, namun harapannya pudar setelah setengah jam lebih tak ada taksi kosong yang lewat. Akhirnya Ia pasrah harus naik bus kopaja yang penuh sesak dan harus berdesakan dengan penumbang lain. Ivena mulai panik ketika melihat jam tangannya menunjukkan pukul 08.30, yang berarti telah lewat setengah jam dari janjiannya. Ia mengabaikan ponselnya yang bergetar di tas namun akhirnya Ia merogoh tas untuk mengangkat panggilan sambil mengatur keseimbangan posisi berdirinya di pinggir pintu, posisinya sangat rawan jatuh saat sopir mengerem mendadak.
“Halo.” serunya membesarkan volume suara yang kalah dengan deru mesin kendaraan di sekitar.
“Halo Ven. Lo dimana?” Rina bertanya panik karena kliennya sudah beberapa kali mengomel karena Ivena tak kunjuk menampakkan batang hidungnya.
“Halo... Halo!!” jerit Ivena karena suara Rina yang terdengar sangat tidak jelas.
Ivena memutuskan panggilan telfon dan berkonsentrasi menelusuri jalanan yang sudah mulai memasuki area kantornya, Akhirnya Ia bisa bernafas lega ketika bus telah berhenti di depan kantor dan berhasil turun dengan selamat.
Rina yang menangkap sosok Ivena turun dari bus langsung menghampiri
“Ivena!!!” jerit Rina.
Ivena mencoba mengatur nafasnya yang tidak teratur.
"Ven, lo kemana aja sih? Di telfon suaranya gak jelas. Gue itu udah panik tau" cerocos Rina lagi.
"Iya maaf deh.ban mobil gue kempes jadi tadi gue naik bus dan suara cempreng lo itu kalah sama suara mesin bus." jelas Ivena.
"Udah nanti aja ya ngejelasinnya. Sekarang yang penting lo temuin klien kita di atas, Dia udah nungguin lo dari tadi dan udah berkali-kali ngomel karena lo telat hampir satu jam." Rina menarik tangan Ivena agar memepercepat langkahnya menuju lantai dua.
***
"Maaf ya Bu Marsya jadi menunggu." sapa Ivena kepada sosok wanita muda yang sedang memandangi gaun-gaun pernikahan yang terpajang pada manekin hasil karya tangan dingin Ivena.
Wanita itu berbalik badan dan memandang Ivena sinis "Ya harusnya sih bukan saya yang menunggu anda ya. Anda telat hampir satu jam loh."
"Sekali lagi saya minta maaf Bu. Tadi ada sedikit masalah dalam perjalanan kesini."
“Alesan aja deh.” ujarnya masih sinis.
Ivena cukup sabar untuk menghadapi klien yang bertingkah seperti ini, pengalaman bertahun-tahun di dunia weeding organize membuat tingkat kesabarannya semakin bertambah.
Ivena mencoba mengalihkan fokus pembicaraan, "Ini desain gaun pengantinnya, Bu. Masih bisa direvisi."
"Jangan panggil saya Ibu, panggil Marsya aja." ujar Marsya mulai melunak sembari mengambil kertas desain gaun pengantinnya.
Mersya sibuk memandangi desain gaun tersebut dengan beberapa penjelasan dari Rina mengenail setiap detailnya.
Ivena mengalihkan pandangan menyusuri ruang yang didominasi warna putih dan beberapa sentuhan klasik pada ornamennya. Tak sengaja matanya mendapati sosok laki-laki yang duduk di sofa dengan wajah tertutupi lembaran koran. Pikiranya mencoba menebak-nebak siapa sosok lelaki itu ketika Marsya mendekati sosok itu.
"Dan, gimana bagus gak rancangan gaunnya?" tanya Marsya.
Sosok itu perlahan menurunkan lembaran koran yang menutupi wajahnya dan sekilas melihat ke arah rancangan gaun yang ditunjukkan oleh Marsya, menunjukkan ke-tidak-ter-tarik-an-nya.
"Iya bagus kok." jawabnya singkat.
Sosok itu hendak kembali kerkutat dengan lembaran korannya saat tanpa sengaja matanya menangkap mata Ivena. Ivena yang beberapa saat lalu memandanginya sejak sosok itu menurunkan lembaran koran dari wajahnya kontan terkejut dan salah tingkah. Ia kenal betul sosok dihadapannya, walaupun waktu tak dapat membohongi ada banyak perubahan.
"Danny...." ujar Ivena ragu.
"Ivena...." balas Danny.
"Kalian udah saling kenal?" tanya Marsya heran menatap calon suami disebelahnya dan weeding organize didepannya.
"Hmm... Iya kita temen SMA dulu." jawab Ivena kaku.
Danny enggan menjawab, hanya matanya sesekali mencuri pandang kepada Ivena.
"Waah gak nyangka kalian ternyata temen SMA, dunia sempit ternyata."
Ivena hanya bisa tersenyum karena entah harus berkomentar apa.Ia masih dalam keadaan tak stabil, jantung dan nadinya masih berdetak lebih cepat dari biasanya dan Ia tak yakin penampilannya masih oke setelah berdesakan di bus tadi.
"Gaun pernikahannya kan udah fix. Sekarang kita bicarain tentang catering dan dekorasi aja ya." ujar Ivena berusaha menutupi kegrogiannya..
"Iya boleh." Marsya antusias sekali mengurusi pernikahannya dengan Danny yang sangat Ia dambakan.
"Kalo masalah catering Rina yang tanganin dan masalah dekorasi saya sendiri yang tanganin." jelas Ivena.
"Oke kalo gitu saya bicarain tentang catering sama Rina."
Kini Marsya memandang Danny "Sayang, kamu yang bicarain dekorasi sama Ivena ya." pintanya.
Kemudian Marsya mengikuti Rina ke ruangan sebelah, meninggalkan Ivena dan Danny dalam kecanggungan.
"Hai apa kabar, Dan?" Ivena mencoba membuka pembicaraan.
"Baik. Kamu gimana?"
"Aku juga baik-baik aja."
Karena tak ada respon dari Danny akhirnya Ivena membuka percakapan kembali.
"Mama sama Papa sehat kan?"
"Iya sehat kok." kali ini Danny mulai menampilkan senyumnya. Senyuman yang pernah melelehkan hati Ivena.
"Syukurlah kalo mereka sehat. Hmm... Bima sekarang pasti udah besar ya?"
"Iya sekarang Bima udah kelas 4 SD.”
"Aku kangen banget loh sama Bima."
“Dia masih simpen loh mobil-mobilan yang pernah kamu kasih dulu."
“Beneran? Kan itu udah lama banget.” ujar Ivena dengan mata berbinar tak mengangka perkataan Danny barusan.
Kemudian obrolan mereka dilanjutkan dengan cerita-cerita ringan tentang masa lalu yang kadang bersangkutan dengan keadaan sekarang, tak ada sama sekali obrolan tentang dekorasi pernikahan.
Mereka tak menyadari Marsya dan Rina telah kembali ke ruangan. "Gimana udah dapet dekorasi yang pas untuk acara kita?" pertanyaan Marsya menghentikan obrolan seru dua orang yang lama terpisah.
"Belum dapet, Sya." seketika raut wajar Danny yang ceria berubah menjadi dingin seperti semula.
"Aaah kamu gak bisa diandelin deh Sayang. Yaudah besok aku aja yang urus masalah dekorasi." Marsya bergelayut manja dibahu Danny.
Ada seberkas kecemburuan melihat kemesraan di depannya.
"Ivena, besok kita diskusiin lagi ya masalah dekorasi."
"Ooh iya. Besok anda bisa hubungin saya sebelum datang kesini dan saya janji gak akan telat."
“Oke...”
Kemudian Marsya dan Danny beranjak meninggalkan ruangan. Ivena memandangi mereka yang semakin menghilang di bawah tangga.
"Temen SMA lo pengantin prianya?" tanya Rina mengagetkan.
"Iya temen SMA..... sekaligus mantan gue." jujur Ivena.
"Hah? Seriusan? Gimana ceritanya?" tanya Rina penasaran, setengah tak percaya dengan apa yang partner kerjanya katakan.
"Serius banget, Rin. Yaa begitulah ceritanya." jawab Ivena dengan pandangan kosong.
"Kalian pacaran berapa lama? Cerita dong, Ven!"
"Danny dulu kakak kelas gue. Kita pacaran sekitar 2 tahunan terus dia kuliah ke luar negeri dan kita memutuskan untuk jalan masing-masing. Dia pacar pertama gue walaupun bukan cinta pertama tapi dia kasih kesan pertama tentang cinta."
"Terus hubungan lo masih baik kan sama dia?"
"Gak juga sih. Kalo hubungan kita masih baik gue gak akan jadi weeding organizenya sama Marsya."
"Iya juga ya, Ven. Lo deket sama keluarganya?"
"Dulu deket banget Rin. Nyokapnya baik banget. Waktu kita udah putus aja nyokapnya masih sering nyuruh gue main ke rumahnya. Keponakannya juga Si Bima, lengket banget sama gue. Pokoknya udah deket banget deh."
"Waaah mungkin nyokapnya berharap lo jadi menantunya.”
“Iya Rin. Jangan gak percaya ya, nyokapnya itu ngenalin gue ke temen-temennya sebagai calon menantu.”
“Waaw! Hmm... Terus perasaan lo sekarang gimana ke Danny?"
Ivena berfikir lama untuk menjawab pertanyaan Rina.
"Ven...." Rina menggoncangkan tubuh Ivena.
"Iya Rin, ini gue lagi mikir perasaan gue gimana. Pertama kali liat Danny (lagi) pastinya shock, setelah 6 tahunan gak pernah ketemu apalagi ketemu di saat begini. Momennya gak tepat banget."
Ivena memalingkan pandangan menatap kertas rancangan gaun pengantin untuk Marsya. Ingin rasanya menggantikan Marsya memakai gaun ini dan mendampingi Danny di atas pelaminan. Pikirannya memflashback kenangan dua tahun bersama Danny. Banyak cerita disana, sedih, senang, suka, duka, pernah Ia lalui bersama. Menyakitkan memang harus menjadi weeding organize seseorang yang dulunya pernah merencanakan pernikahan bersama kita namun kini harus merencanakan pernikahannya bersama orang lain. But, The weeding must go on.
"Siaaaaal!" jeritnya.
Hari ini Ia mempunyai janji untuk bertemu kliennya satu jam lagi. Ia melangkahkan kakinya terburu-buru menyusuri jalanan komplek yang masih sepi. Didapatinya telah banyak orang menunggu bus dan taksi sesampainya di halte depan perumahan. Ia sangat berharap ada taksi kosong yang segera lewat, namun harapannya pudar setelah setengah jam lebih tak ada taksi kosong yang lewat. Akhirnya Ia pasrah harus naik bus kopaja yang penuh sesak dan harus berdesakan dengan penumbang lain. Ivena mulai panik ketika melihat jam tangannya menunjukkan pukul 08.30, yang berarti telah lewat setengah jam dari janjiannya. Ia mengabaikan ponselnya yang bergetar di tas namun akhirnya Ia merogoh tas untuk mengangkat panggilan sambil mengatur keseimbangan posisi berdirinya di pinggir pintu, posisinya sangat rawan jatuh saat sopir mengerem mendadak.
“Halo.” serunya membesarkan volume suara yang kalah dengan deru mesin kendaraan di sekitar.
“Halo Ven. Lo dimana?” Rina bertanya panik karena kliennya sudah beberapa kali mengomel karena Ivena tak kunjuk menampakkan batang hidungnya.
“Halo... Halo!!” jerit Ivena karena suara Rina yang terdengar sangat tidak jelas.
Ivena memutuskan panggilan telfon dan berkonsentrasi menelusuri jalanan yang sudah mulai memasuki area kantornya, Akhirnya Ia bisa bernafas lega ketika bus telah berhenti di depan kantor dan berhasil turun dengan selamat.
Rina yang menangkap sosok Ivena turun dari bus langsung menghampiri
“Ivena!!!” jerit Rina.
Ivena mencoba mengatur nafasnya yang tidak teratur.
"Ven, lo kemana aja sih? Di telfon suaranya gak jelas. Gue itu udah panik tau" cerocos Rina lagi.
"Iya maaf deh.ban mobil gue kempes jadi tadi gue naik bus dan suara cempreng lo itu kalah sama suara mesin bus." jelas Ivena.
"Udah nanti aja ya ngejelasinnya. Sekarang yang penting lo temuin klien kita di atas, Dia udah nungguin lo dari tadi dan udah berkali-kali ngomel karena lo telat hampir satu jam." Rina menarik tangan Ivena agar memepercepat langkahnya menuju lantai dua.
***
"Maaf ya Bu Marsya jadi menunggu." sapa Ivena kepada sosok wanita muda yang sedang memandangi gaun-gaun pernikahan yang terpajang pada manekin hasil karya tangan dingin Ivena.
Wanita itu berbalik badan dan memandang Ivena sinis "Ya harusnya sih bukan saya yang menunggu anda ya. Anda telat hampir satu jam loh."
"Sekali lagi saya minta maaf Bu. Tadi ada sedikit masalah dalam perjalanan kesini."
“Alesan aja deh.” ujarnya masih sinis.
Ivena cukup sabar untuk menghadapi klien yang bertingkah seperti ini, pengalaman bertahun-tahun di dunia weeding organize membuat tingkat kesabarannya semakin bertambah.
Ivena mencoba mengalihkan fokus pembicaraan, "Ini desain gaun pengantinnya, Bu. Masih bisa direvisi."
"Jangan panggil saya Ibu, panggil Marsya aja." ujar Marsya mulai melunak sembari mengambil kertas desain gaun pengantinnya.
Mersya sibuk memandangi desain gaun tersebut dengan beberapa penjelasan dari Rina mengenail setiap detailnya.
Ivena mengalihkan pandangan menyusuri ruang yang didominasi warna putih dan beberapa sentuhan klasik pada ornamennya. Tak sengaja matanya mendapati sosok laki-laki yang duduk di sofa dengan wajah tertutupi lembaran koran. Pikiranya mencoba menebak-nebak siapa sosok lelaki itu ketika Marsya mendekati sosok itu.
"Dan, gimana bagus gak rancangan gaunnya?" tanya Marsya.
Sosok itu perlahan menurunkan lembaran koran yang menutupi wajahnya dan sekilas melihat ke arah rancangan gaun yang ditunjukkan oleh Marsya, menunjukkan ke-tidak-ter-tarik-an-nya.
"Iya bagus kok." jawabnya singkat.
Sosok itu hendak kembali kerkutat dengan lembaran korannya saat tanpa sengaja matanya menangkap mata Ivena. Ivena yang beberapa saat lalu memandanginya sejak sosok itu menurunkan lembaran koran dari wajahnya kontan terkejut dan salah tingkah. Ia kenal betul sosok dihadapannya, walaupun waktu tak dapat membohongi ada banyak perubahan.
"Danny...." ujar Ivena ragu.
"Ivena...." balas Danny.
"Kalian udah saling kenal?" tanya Marsya heran menatap calon suami disebelahnya dan weeding organize didepannya.
"Hmm... Iya kita temen SMA dulu." jawab Ivena kaku.
Danny enggan menjawab, hanya matanya sesekali mencuri pandang kepada Ivena.
"Waah gak nyangka kalian ternyata temen SMA, dunia sempit ternyata."
Ivena hanya bisa tersenyum karena entah harus berkomentar apa.Ia masih dalam keadaan tak stabil, jantung dan nadinya masih berdetak lebih cepat dari biasanya dan Ia tak yakin penampilannya masih oke setelah berdesakan di bus tadi.
"Gaun pernikahannya kan udah fix. Sekarang kita bicarain tentang catering dan dekorasi aja ya." ujar Ivena berusaha menutupi kegrogiannya..
"Iya boleh." Marsya antusias sekali mengurusi pernikahannya dengan Danny yang sangat Ia dambakan.
"Kalo masalah catering Rina yang tanganin dan masalah dekorasi saya sendiri yang tanganin." jelas Ivena.
"Oke kalo gitu saya bicarain tentang catering sama Rina."
Kini Marsya memandang Danny "Sayang, kamu yang bicarain dekorasi sama Ivena ya." pintanya.
Kemudian Marsya mengikuti Rina ke ruangan sebelah, meninggalkan Ivena dan Danny dalam kecanggungan.
"Hai apa kabar, Dan?" Ivena mencoba membuka pembicaraan.
"Baik. Kamu gimana?"
"Aku juga baik-baik aja."
Karena tak ada respon dari Danny akhirnya Ivena membuka percakapan kembali.
"Mama sama Papa sehat kan?"
"Iya sehat kok." kali ini Danny mulai menampilkan senyumnya. Senyuman yang pernah melelehkan hati Ivena.
"Syukurlah kalo mereka sehat. Hmm... Bima sekarang pasti udah besar ya?"
"Iya sekarang Bima udah kelas 4 SD.”
"Aku kangen banget loh sama Bima."
“Dia masih simpen loh mobil-mobilan yang pernah kamu kasih dulu."
“Beneran? Kan itu udah lama banget.” ujar Ivena dengan mata berbinar tak mengangka perkataan Danny barusan.
Kemudian obrolan mereka dilanjutkan dengan cerita-cerita ringan tentang masa lalu yang kadang bersangkutan dengan keadaan sekarang, tak ada sama sekali obrolan tentang dekorasi pernikahan.
Mereka tak menyadari Marsya dan Rina telah kembali ke ruangan. "Gimana udah dapet dekorasi yang pas untuk acara kita?" pertanyaan Marsya menghentikan obrolan seru dua orang yang lama terpisah.
"Belum dapet, Sya." seketika raut wajar Danny yang ceria berubah menjadi dingin seperti semula.
"Aaah kamu gak bisa diandelin deh Sayang. Yaudah besok aku aja yang urus masalah dekorasi." Marsya bergelayut manja dibahu Danny.
Ada seberkas kecemburuan melihat kemesraan di depannya.
"Ivena, besok kita diskusiin lagi ya masalah dekorasi."
"Ooh iya. Besok anda bisa hubungin saya sebelum datang kesini dan saya janji gak akan telat."
“Oke...”
Kemudian Marsya dan Danny beranjak meninggalkan ruangan. Ivena memandangi mereka yang semakin menghilang di bawah tangga.
"Temen SMA lo pengantin prianya?" tanya Rina mengagetkan.
"Iya temen SMA..... sekaligus mantan gue." jujur Ivena.
"Hah? Seriusan? Gimana ceritanya?" tanya Rina penasaran, setengah tak percaya dengan apa yang partner kerjanya katakan.
"Serius banget, Rin. Yaa begitulah ceritanya." jawab Ivena dengan pandangan kosong.
"Kalian pacaran berapa lama? Cerita dong, Ven!"
"Danny dulu kakak kelas gue. Kita pacaran sekitar 2 tahunan terus dia kuliah ke luar negeri dan kita memutuskan untuk jalan masing-masing. Dia pacar pertama gue walaupun bukan cinta pertama tapi dia kasih kesan pertama tentang cinta."
"Terus hubungan lo masih baik kan sama dia?"
"Gak juga sih. Kalo hubungan kita masih baik gue gak akan jadi weeding organizenya sama Marsya."
"Iya juga ya, Ven. Lo deket sama keluarganya?"
"Dulu deket banget Rin. Nyokapnya baik banget. Waktu kita udah putus aja nyokapnya masih sering nyuruh gue main ke rumahnya. Keponakannya juga Si Bima, lengket banget sama gue. Pokoknya udah deket banget deh."
"Waaah mungkin nyokapnya berharap lo jadi menantunya.”
“Iya Rin. Jangan gak percaya ya, nyokapnya itu ngenalin gue ke temen-temennya sebagai calon menantu.”
“Waaw! Hmm... Terus perasaan lo sekarang gimana ke Danny?"
Ivena berfikir lama untuk menjawab pertanyaan Rina.
"Ven...." Rina menggoncangkan tubuh Ivena.
"Iya Rin, ini gue lagi mikir perasaan gue gimana. Pertama kali liat Danny (lagi) pastinya shock, setelah 6 tahunan gak pernah ketemu apalagi ketemu di saat begini. Momennya gak tepat banget."
Ivena memalingkan pandangan menatap kertas rancangan gaun pengantin untuk Marsya. Ingin rasanya menggantikan Marsya memakai gaun ini dan mendampingi Danny di atas pelaminan. Pikirannya memflashback kenangan dua tahun bersama Danny. Banyak cerita disana, sedih, senang, suka, duka, pernah Ia lalui bersama. Menyakitkan memang harus menjadi weeding organize seseorang yang dulunya pernah merencanakan pernikahan bersama kita namun kini harus merencanakan pernikahannya bersama orang lain. But, The weeding must go on.
Comments
Post a Comment