Cerita Biru dan Senja #2
Sore itu langit sedikit mendung dengan angin bertiup kencang,
namun tetap mengundang untuk dinikmati segarnya menjelang hujan.
"Jadi kenapa kamu ambil kuliah psikologi?"
"Hmm... Kenapa yaa?" aku mencoba mengingat alasan 3
tahun yang lalu memilih jurusan kuliah saat baru lulus SMA.
"Biar bisa baca pikiran orang. Hahaha."
"Emang beneran psikolog bisa baca pikiran orang?"
Aku langsung terkekeh dengan pertanyaan Biru.
"Enggak lah, emang dukun. Becanda tau."
"Kirain kan beneran."
Aku menggeleng pelan dengan mata masih memandangi sosok di depan.
"Kamu takut ya kalo aku bisa baca pikiran kamu? Hayoo
ngaku!!"
"Bagus kalo kamu bisa baca pikiran aku. Biar aku gak repot
merangkai kata-katanya."
"Kata-kata apa?"
"Ada deh. Rahasia!"
"Yaahh...."
Aku langsung pura-pura kecewa.
"Nanti juga tau." balasnya dengan senyuman yang
pesonanya masih sama seperti pertama bertemu.
Gelapnya malam mulai menyapa, rintik hujan mulai mendera.
Semerbak wangi tanah basah menyejukan.
"Udah mau gelap. Pulang yok."
Aku mengangguk.
Kami berjalan menuju rumahku yang hanya 500 meter dari taman
bunga, tempat kami baru saja
bercanda tawa.
"Biru kenapa mau jadi
arsitek?" tanyaku sambil menyeimbangkan langkahnya yang terlalu cepat bagiku.
"Biar bisa bikinin rumah."
"Buat siapa?"
"Rumah buat Senja."
Deg.
Deg.
Deg.
Biru selalu berhasil membuat jantungku bekerja lebih keras sejak pertama bertemu.
"Ihh gombal!"
Aku berpura-pura kesal.
"Bukan gombal, tapi beneran."
Sekali lagi, satu letupan kembang api meledak hingga membuat
pipiku terasa panas.
"Besok sore ketemu lagi ya. Bye..."
Aku membalas dengan senyuman yang mengiringi sosoknya menjauh di
belokan depan rumah.
Baru saja semenit berpisah mengapa rasanya seperti ada yang
kosong?
"Tariii!! Gue seneeeengg bangeeett hari ini!"
"OMG Kenapa? Biru lagi?”
"Iya bener!! Masa dia bilang alesannya jadi arsitek karna mau
bikinin gue rumah."
"Ya ampun Senja, lo kayak anak SMA yang baru pertama
pacaran."
"Yang ini beda, Tari! Biru tuh kayak serius gitu."
Perkenalkan ini Tari, sahabatku sejak pertama menginjakkan kaki di
kampus. My 24/7.
"Pertanyaannya, dia udah nembak lo belum?"
"Emang masih jaman pake acara
tembak-tembakan? Kita bukan anak SMA lagi hey!" balasku sewot.
"Tapi hubungan lo sama Biru juga masih dalam tahap pedekate.
Menurut informan gue yang anak
arsitek, Biru itu punya banyak adek-adekan dan
temen-temenan."
Deg!
"HTS-an gitu maksudnya?"
"Lebih tepatnya friendzone!" jawab Tari dengan mantap.
"Tapi kan belakangan ini gue ketemu Biru hampir tiap hari dan
kayaknya cuma gue yang deket sama dia."
"Lo kan ketemunya pulang kampus doang, mana lo tau gimana dia
di jurusan."
"Lo jangan melayukan bunga yang bahkan belom berkembang
dong!"
"Bunganya udah berkembang banyak banget malah. Lo kebanyakan
ngasih pupuk! Ngobrolin Biru-nya besok lagi deh. Pegel nih pegang
telfonnya."
"Okey baiklah. Thank you yaa beb udah dengerin cerita
gue."
"Nja, inget ya, cinta itu butuhnkomitmen. Gak bisa cuma jalanin-jalanin aja taunya dia jalan sama orang lain juga."
Aku tersenyum mendengarnnasihatnya. Aku tau banyak hubungan tanpa status berakhir miris. Karena yang serius tak akan
misterius.
Comments
Post a Comment