Untuk pria yang selalu ku jaga hatinya


Gemuruh petir menggelegar seantro ruang, kilatan cahayanya menerobos mimpi indahku yang tengah melambung bersama kehangatan keluarga nan jauh di sana. Ada kelembaban terasa di pori kulitku. Aah sial! ternyata beberapa tetes air telah membasahi lenganku, dengan sigap aku langsung menarik gagang jendela yang memang selalu ku buka untuk melihat langit malam. Aku beranjak dari tempat tidurku, menegak segelas air mineral yang berembun menyesuaikan temperatur yang semakin menurun. Aku menatap kosong butiran air langit yang turun semakin deras. Pikiranku kembali terbayang oleh mimpi indah barusan, kehangatan suasana rumah yang bersahaja, keriangan dan canda tawa adik-adikku seperti terefraksi di telinga.
Duaaaarrrr!! Lagi-lagi gemuruh petir menyentakkan pikiranku, membuat khayalanku seketika buyar tak bersisa. Aku menghela nafas panjang, kembali menatap kamar yang telah aku tempati beberapa tahun belakangan selama merantau. Andai saja aku dulu tak menuruti ego untuk (sok) mandiri merantau ke kota orang. Mmungkin aku tak akan sering terbangun tengah malam hanya karena kerinduan.
Benda putih persegi panjang di pojok ruang tiba-tiba saja menarik perhatian, aku berjalan gontai mendekatinya, mencabut sambungan listrik yang tengah mengisi baterai. Sempat terlintas niat untuk menelfon orang rumah, namun langsung ku urungkan mengingat saat ini masih pukul 3 pagi. Walaupun mungkin saja ayah dan ibu sedang terbangun untuk sholat Tahajud, tapi rasanya tak etis menelfon mereka di pagi buta yang pasti menimbulkan tanda tanya besar.
Seketika nafasku terhenti saat ada satu email baru masuk.
               
 “Ini masih dengan Airin?”
               
Seketika pipiku mengembang menyunggingkan senyum. Ternyata Ia masih mengingatku yang tak seberapa ini. Dengan sigap aku langsung membalasnya.
               
“Absolutely! How are you? How’s life there? Gimana kuliahnya? Pasti main terus ya? I miss         you so bad! Sombong banget gak pernah ada kabar. Please reply as soon as possible.”
               
Balasku panjang. Seperti itulah aku, cerewet, terutama dengan seseorang ini yang tengah berada ribuan kilometer di sana. Aku terus me-refresh kotak masuk email, tak sabar menunggu balasan dan memastikan sinyal internetku terkoneksi dengan baik. Hampir satu jam aku melakukan hal yang sama, terus menatap layar handphone, berharap ada pemberitahuan baru masuk. Tapi tetap nihil sampai akhirnya aku menyerah pada kantuk yang menghinggapi.

***

Aku sengaja mengetuk-ngetuk flat shoes hitam yang terlihat kontras dengan kulitku, menandakan ingin segera mengakhiri bimbingan skripsi hari ini. Ternyata kode yang aku berikan tak membuat Pak Bambang mengakhiri ceramah panjangnya. Malah beliau semakin mencecarku agar menyelesaikan revisi akhir minggu ini, yang hanya bisa ku iya-kan tanpa berkelit meminta perpanjangan waktu sedikitpun. Target wisuda akhir tahun ini membuatku harus berpikir keras untuk segera menyelesaikan segala sesuatunya.
Akhirnya Pak Bambang membiarkanku meninggalkan ruangan setelah hampir tak ada kertas mulus di draft skripsiku, semuanya penuh dengan coretan revisi. Aku hanya bisa tersenyum pahit saat melintasi beberapa mahasiswa yang juga sedang menunggu bimbingan skripsi.
“Gimana udah selesai?” tanya Putri yang sedari tadi menungguiku.
Aku langsung memberikan tumpukan kertas dalam genggamanku yang hampir seperti bungkus kacang rebus.
“Ya ampun banyak banget revisinya. Terus tetep jadi sidang minggu depan?”
 Aku hanya mengangkat bahu dengan pertanyaan Putri yang menohok. “Semoga....” jawabkuku akhirnya.
“Launching novel kamu lusa kan? Jangan bilang kamu lupa untuk hal sepenting itu.”
“Oh my! Aku hampir aja lupa.” Sial! Hampir saja aku lupa dengan hal paling penting dalam hidupku yang akan segera terjadi.
Pikiranku kembali menerawang ke masa lalu, saat terakhir kalinya memeluk raga itu dan berjanji akan segera menambahkan gelar Sarjana Arsitektur di belakang namaku tahun ini juga menerbitkan novel perdanaku. Ah! Ternyata kejadian itu sudah cukup lama, tapi getaran-getaran aneh yang tiba-tiba muncul belakangan ini masih bisa ku ingat jelas.
Dreeet dreeet dreeet.... Sebuah email baru masuk di handphoneku.

“Sorry for this late reply, Rin. I’m fine. How about you? You have to know that I’ll be in Indonesia tomorrow! Can you pick me up at the airport?”
Mataku langsung terbelalak membaca emailnya. Aku tak percaya bahwa dalam waktu kurang dari 24 jam lagi aku bisa bertemu dengannya, sosok yang selalu kurindukan kehangatan peluknya.

“I do. Jam berapa sampai di sini? please give your number.”
               
Balasku cepat, berharap Ia masih online dan langsung membalas. Ternyata semesta sedang berpihak kepadaku.
               
“Jam 8 pagi udah landing. 081325256666. See you soon, Airin. Btw, thank you yap!”

Lagi-lagi bibirku langsung melengkungan senyum tanpa dikomando.
“Kenapa sih senyum-senyum sendiri?” protes Putri yang ternyata tengah memperhatikanku sedari tadi.
“Kamu harus tau kalo Dia besok udah sampe di Indonesia.” jawabku sembari membalas email menyatakan ketersediaanku menjemputnya.
“Ooh temen masa kecil yang jadi tokoh utama di novel kamu itu?”
“Bener banget, dia orangnya!”
“Yang jadi cinta pertama kamu juga?”
“ Bukaaaaan!!” elakku langsung.
“Yakiiiin?” Putri kembali menggodaku. “Mungkin bukan cinta pertama tapi bisa jadi cinta terakhir. Hahaha.” ujarnya sembari berlari meninggalkanku.
Aku langsung mengejar dan mecubit keras lengannya, berpura-pura ngambek dengan godaannya. Ia akhirnya meminta maaf walau tau aku tak benar-benar marah kepadanya.

***

Aku terus memandangi jam analog di lengan kiriku, berharap Ia bisa melambat seriring kemacetan yang kian menjadi. Sial! tol bandara pagi ini sama sekali tak berdahabat. Otot kakiku mulai pegal harus terus menginjak rem-gas-kopling berkali-kali. Aku berusaha menghubungi nomor yang telah Ia berikan lewat email, memastikannya untuk tetap menunggu.
Akhirnya pukul setengah sembilan aku baru mencapai parkiran bandara. Kerumunan manusia seperti menyemut memadati terminal kedatangan. Here me! Celingukan ke kanan kiri mencari sosok yang sangat kutunggu kedatangannya.
“Airiiiin!!”
Aku langsung menengok ke sumber suara yang meneriakkan namaku.
“Abaaaang!!” jeritku tak mau kalah. Mungkin adegan pertemuan ini layaknya skenario film, tapi bukan, ini skenario Tuhan.
Ia langsung memelukku erat, membelai helaian rambut yang keluar dari kuncit kudaku. Hal yang selalu tak canggung Ia lakukan dimanapun tempat dan keadaannya. Namanya Muhammad Zaky Prasetya. Aku memanggilnya Bang Zaky. Ia adalah teman masa kecilku yang tumbuh bersama hingga menjadi sahabat terbaik sepanjang masa. Ia juga inspirasiku dalam hal apapun, Ia yang memotivasiku untuk terus menulis, agar suatu saat nanti aku bisa menjadi part time writer dan half time engineer.  Dan... Ia tokoh utama dalam novel perdanaku!
“Kenalin ini temen aku. Namanya Jane.”
Sesosok wanita berambut cokelat sebahu menjulurkan tangannya. “Hi.. Jane.” ujarnya lembut.
“Hello. i’m Airin.” balasku pelan sembari mengamati setiap lekuk tubuhnya. Tingginya semampai dengan berat badan yang ideal, hidungnya mancung seperti kebanyakan orang barat, tapi bola matanya hitam bulat seperti... mataku.
“Kamu apa kabar? Kayak hilang ditelan bumi, eh sekarang tiba-tiba muncul.” Cerocosku langsung kepada Bang Zaky.
“Aku baik-baik aja. Lagi sibuk penelitian untuk thesis jadi jarang banget komunikasi sama yang di Indo. Kamu gimana? Kuliah lancar kan? Novel gimana?”
“Kalo kuliah ya begitulah, Bang.” jawabku tak bersemangat. “Tapi... kalo novel..... terbit minggu iniiiii!!” jeritku.
“Seriuuuuus???” tanyanya tak percaya.
Aku hanya mengunggingkan senyum untuk menjawab pertanyaannya. Aku bernafas lega bisa memberikan kabar baik tentang launching novel perdanaku secara langsung kepadanya.
“Rin, Jane ini temen sekampus aku. Dia sebenernya orang Indonesia juga, cuma dari lahir udah di London. Dia jago banget lho bahasa Indonesia. This is the first time she go to Indonesia.”
“Ooh really?” jawabku seadanya. Aku sengaja berpura-pura konsentrasi dengan jalanan di depan.
Kembali Bang Zaky menceritakan tentang Jane dan kehidupannya di sana sepanjang perjalanan. Beberapa ceritanya ku tanggapi dengan antusias tapi beberapa lainnya tak terlalu aku tanggapi, terutama yang berhubungan dengan Jane.
“Eh btw pada mau kemana?” tanyaku tersadar saat mulai melaju di tengah kota.
“Hmm... Jane boleh nginep di kostan kamu?
“Ha—h?” Aku terperangah dengan pertanyaannya.
“Iya Jane boleh kan nginep di kostan kamu?” tanyanya lagi meyakinkan.
“Bo—le—h” jawabku terbata. “Kamu nginep dimana?”
“Aku kan kesini untuk presentasi paper, jadi dapet akomodasi hotel, transport. Tenang aja...” jawabnya meyakinkan.
“Jane gak ikut presentasi?” tanyaku heran.
“Jane cuma nemenin aku aja sekalian liburan.”
Mulutku hanya bisa membentuk kata “Ooh...” dengan pernyataan Bang Zaky.

***

Aku membiarkan Jane beristirahat di tempat tidurku. Belasan jam di pesawat pastilah membuatnya membutuhkan istirahat panjang, terlebih ini kali pertamanya ke Indonesia. Aku membalas pesan singkat Bang Zaky yang menanyakan keadaan Jane, memberitahukan bahwa Jane tengah tertidur lelap. Walau hatiku tak terlalu menerimanya, tapi aku tetap memperlakukannya dengan layak sebagaimana tamu agung.
Aku beranjak membersihkan diri, membiarkan tetesan air membasuh setiap senti kulitku. Perasaanku hari ini bercampur aduk, antara bahagia dengan kehadiran Bang Zaky juga sedikit miris dengan Jane yang seperti tiba-tiba hadir di kehidupan kami.
“Jane mau mandi?” tanyaku basa basi saat mendapati sosoknya tengah  memperhatikan deretan pajangan fotoku.
“Ini foto Zaky?” Jane menunjukkan sebuah foto yang menggambarkan dua anak kecil tengah berpelukan di dalam bianglala.
“Iya, itu aku dan Bang Zaky waktu kecil. Kita udah kenal deket banget dari dulu.” Aku sengaja mempertegas bahwa telah mengenal bang Zaky lebih darinya.
“Zaky sering cerita tentang kamu.”
“Cerita apa?” tanyaku bersemangat membayangkan Bang Zaky telah menceritakan kedekatan kami yang teramat sangat.
“Banyak banget. Dia bilang punya adik cewek kesayangan di Indonesia yang selalu bikin kangen. Terus kata Zaky, kamu itu manja banget sama dia. Terus apalagi yaa... Banyak deh Rin nyampe aku banyak yang lupa. Hehehe.”
“Adiiiik? Jadi aku masih tetap menjadi adik kesayangannya?” ujarku dalam hati.
“Keluarga Zaky gimana?”
Pertanyaan Jane mengaburkan lamunanku. “Apa Jane?”
“Keluarga Zaky gimana?”
Aku memproses pertanyaan Jane yang terdengar aneh, entah karena susunan katanya yang berantakan atau otakku yang sedang konsen.  “Maksudnya?”
Jane menggaruk-garuk kepalanya. “Maksud aku, Keluarga Zaky orangnya gimana? Kamu pasti udah kenal deket juga kan sama keluarganya?”
“Iya deket banget. Rumahku sama Bang Zaky itu sebelahan. Keluarganya baik banget kok. Eh sorry, Aku besok ada acara penting banget jadi aku tinggal sibuk bentar malem ini gak apa ya?”
“Ooh iya gak apa. Boleh tau acara pentingnya apa?” Jane memperhatikanku yang mulai membongkar isi lemari, mencari baju yang tepat untuk dikenakan esok, di hari yang paling bersejarah dalam hidupku.
“Launching novel perdanaaaa!!” jawabku girang.
“Waw!! That’s very very cool.”
“That’s my big dream. And now the dream comes true.”
Jane seketika langsung memelukku. “Selamat ya, Airin. Kamu beruntung banget bisa wujudin mimpi besar yang gak semua orang bisa capai.”
“Iya Jane. Makasih banyak ya.” Aku balik membalas pelukannya. Entah mengapa aku merasakan ketulusan di pelukan singkatnya, buka sekedar kepura-puraan.

***

Aku menggelung tinggi rambut sebahuku, memastikan tak ada sehelai pun yang tersisa. Kembali memandang lekat tubuhku yang terbungkus dress berwarna cokelat muda, senada dengan warna kulit. Aku mengatur nafas, mengingat sambutan singkat yang baru ku hafal beberapa jam yang lalu. Sebuah dering handphone sayup-sayup terdengar. Aku beranjak mendekati sumber deringnya, jemariku bergetar saat mendapati nama--- “MY BELOVED ZAKY”.
“Rin...”
Aku tak sengaja menjatuhkan benda mungil yang meruntuk redamkan hatiku. “Sorry...”
Aku langsung meninggalkan Jane yang terlihat kebingungan dengan tingkahku, untuk saat ini aku tak peduli dengan apapun. Aku melajukan mobil dengan pikiran kosong tanpa arah, beberapa kali terdengar bunyi klakson yang tak aku hiraukan. Untungnya di tengah kosongnya pikiran, ragaku masih bisa membawa diri ini sampai di sebuah toko buku. Aku melangkah gontai menuju pintu masuk yang mulai dipadati pengunjung.
Acara launching novel perdanaku telah dimulai, ragaku ada di sini, memaksa untuk menyunggingkan senyum. Namun jiwaku entah berantah berada dimana.
“Airin cepet ngomong!!” seru suara setengah berbisik di sampingku.
Seketika jiwaku terasa begiitu hadir, sosok-sosok di hadapanku terlihat begitu nyata, tak lagi seperti bayangan tak jelas yang mengganggu.
“Selamat pagi semuanya. Terima kaasih telah hadir dalam acara launching novel perdana Airin Pramudya yang berjudul “Kita untuk selamanya”. Novel ini mengungkapkan sebagian besar hati-hati di sana yang hanya bisa mencintai dalam diam, merindu tanpa balas, dan memeluk dalam doa. Tapi ini bukan jatuh cinta diam-diam.” Tak sengaja mataku mendapati sosok Bang Zaky dan Jane diantara puluhan pengunjung. “Cerita ini tak hanya tentang Aku atau Kamu, tapi ini tentang Kita. Novel ini teruntuk pria yang selalu ku jaga hatinya....”
Aku menutup sambutan singkatku, kembali duduk dan untuk pertama kalinya menggoreskan tanda tangan di halaman depan sebuah novel. Ya, novel karanganku sendiri. Bang Zaky dan Jane mendekatiku, Ia lagi-lagi langsung memelukku seperti biasa. Tapi pelukan kali ini tak lagi menghangatkan, malah semakin mempertajam luka.
“Aku suka judul novelnya, Kita untuk selamanya, seperti kita.” ujar Bang Zaky.
Ya, memang “Kita” untuk selamanya. Tapi bukan “Kita” yang seperti ini yang aku inginkan untuk menjadi akhir ceritanya, Bang Zaky.

Comments

Popular posts from this blog

Kerja Praktek PT. Elnusa Tbk. by Rosita Renovita

Internship (Magang) di Kangean Energy Indonesia

Memperjuangkan (Tempat) Tugas Akhir