Intensive Care Unit

Aku melangkahkan kaki gontai memasuki lift yang membawaku ke satu lantai lebih tinggi. Sinar matahari yang terhalau kaca ribben menyambut langkahku yang kian kaku. Suara gaduh ruang tunggu langsung menyeruak menggantikan suasana lift yang hampa. Suasa isak tangis makin memenuhi gendang telinga, hatiku mulai bergetar namun neuron otakku masih tak bereaksi. Aku menyalami kerabat dan keluarga yang berjejer membuat barisan tak linier, mencoba beradaptasi dengan lingkungan yang mencekam, walau masih tak tau apa yang benar-benar terjadi. Andai semalam aku ikut ke sini, mungkin sekarang aku tak jadi patung porselen yang hanya membisu. Seorang berbalut seragam hijau membuka pintu otomatis yang hanya bisa terbuka dengan kartu magnet. Ia mempersilahkan 2 orang keluarga pasien untuk berkunjung. Tetua keluargaku berhambur memprioritaskan diri untuk menjadi yang pertama, membuatku otomatis terdorong mundur. Aku menghela nafas dalam, bersyukur masih ada nyawa kehidupan di dalam sana. 

Seorang wanita paruh baya memberiku sebuah baju ganti berikut sepasang alas kaki, dengan peralatan ini aku bisa masuk ke sebuah ruangan yang memiliki tiga lapisan pintu untuk menjangkaunya. Aku memasuki 'ruang transit', mencuci tangan dengan antiseptik lalu mengeringkannya. Kaca transparan yang dipasang pada pintu membuatku bisa mempersiapkan mental untuk menghadapi sebuah atmosfer semu, sebuah ruang yang dipenuhi oleh pejuang hidup, Intensive Care Unit. Suara interval detak jantung langsung terdengan saat pintu dibuka, berbagai selang infus terjuntai sepanjang mata memandang, sayup-sayup ayat suci dan doa dalam berbagai kepercayaan terlantunkan. 

Di ruang ini aku belajar arti kesehatan yang mahal dan kehidupan yang tak kekal. Aku sering merasa bosan dengan kehidupan yang begitu fana, sedangkan di sini mereka berada dalam keadaan koma dan berharap kehidupan nyata. Rasanya malu dengan Tuhan yang memberiku segalanya namun tak ku rasakan adanya.  
Lima belas hari merasakan hal yang sama, dengan perasaan bak jungkat jungkit penuh kejutan.  
Lima belas hari berkutat dalam lingkungan yang sama. 
Lima belas hari berinteraksi dengan mereka yang juga merasakan hal yang sama. 
Lima belas hari yang tersulit. 
Iya, waktu bergulir, siklus berganti, orang-orang datang dan pergi, tapi kita masih di sini.
Lelah menyeruak, namun seseorang di dalam sana mengingatkanku untuk tetap berharap dan berdoa bahwa mukjizat itu nyat...



RS. Imanuel, Intensive Care Unit

Lekas sembuh kalian yang sedang berjuang mempertahankan hidup

Comments

Popular posts from this blog

Kerja Praktek PT. Elnusa Tbk. by Rosita Renovita

Internship (Magang) di Kangean Energy Indonesia

Memperjuangkan (Tempat) Tugas Akhir